12/27/2006

Antara Mitos, Keras Kepala, dan Fakta

Subak Dalem, 27/12/06


Waaaah, lama juga gak nulis cerita tentang Bani. Ayah Bunda lagi banyak kerjaan. Kalo pas mau nulis, ada aja tugas lain yang harus diberesin. Pas ada waktu luang, mood untuk nulis yang hilang. Maka, blog Bani pun jadi korban. Terlupakan..

Liat posting terakhir, udah lama juga ga nulis. Seminggu lebih. Banyak cerita tersimpan. Antara lain soal kepala botak belakangnya, tiga bulan kelahiran, belajar tengkurap, dan seterusnya. Tapi cerita palling urgen –apa coba?- untuk diceritain mungkin soal Bani jadi manusia karet. Soale cerita ini agak mistis gitu. Ibaratnya Bani tuh masuk kembali ke zaman pra-sejarah atau saman pra-pencerahan, di mana waktu itu rasionalitas –ck, ck, bayi mana yang ngerti bahasa-bahasa gini. J- belum dipakai. Di mana pada saat itu manusia lebih percaya pada mitos.

To the story aja. Sejak baru lahir, dadong –sebutan nenek di Bali- sudah mewanti-wanti agar bajunya Bani tidak diplintir-plintir kalau dicuci. Diplintir tuh basa Indonesianya apa ya? Kurang lebih kalo meras baju Bani setelah dicuci tuh jangan diplintir –nah kan plintir lagi?-. Untuk abisin air pada kain cukup diremas, bukan diperas. Kata Dadong kalo diperas dengan cara diplintir, Bani bakal suka mekiut (basa Bali) atau suka mulet (basa Jawa). Basa Indonesianya apa ya? –Ah, ternyata kosa kata basa Indonesia memang tak sebanyak basa Jawa atau basa Bali?-

Sebagai orang tua yang rasional, Ayah Bunda gak terlalu peduli dengan nasehat ini. Apalagi pada dasarnya Ayah Bunda memang keras kepala. Jadi ya karena nasehat itu gak masuk akal antara sebab dan akibatnya, maka Ayah Bunda cuek saja. Pas nyuci, baju Bani tetep aja diplintir semau mereka. Kadang-kadang malah kayak ngledek nasehat Dadong.

Dan sim salabus abrus kedabrus! Ternyata nasehat Dadong ada benarnya..

Dari hari pertama di rumah Bani tuh sudah keliatan suka mulet. Kalo tidur tuh badannya menggeliat-geliat kayak cacing. Kepala ke kanan kaki ke kiri. Abis itu dia muter arah kepala dan kaki. Wah, pokoknya sering banget mulet.

Pas Mbah dari Lamongan ngliat Bani suka mulet, eh, Mbah juga bilang gitu, “Pasti pas nyuci baju meresnya diplintir.” Gedubrak! Ternyata orang tua di mana-mana pikirannya sama.

Kii Bani udah tiga bulan lebih. Ayah masih cuek aja suka meres baju Bani dengan cara mlintir. Bunda kadang-kadang cuek kadang-kadang kepikiran. Hasilnya? Kebiasaan Bani mulet tuh gak juga berkurang. Malah tambah parah. Badan Bani tuh kayaknya lentur banget. Apa dia mau jadi penari ntar ya? [+++]

12/15/2006

Otot Kawat Tulang Besi

Subak Dalem, 15/12/06

Ada kebiasaan Bani yang ilang. Sejak baru lahir, dia rajin dijemur. Tiap pagi dan sore sama Ayah atau Bunda dia mandi matahari. -Bule kaleeeee...- Tenang, bisa jadi karena dia orang Bali jadi dia suka berjemur matahari. -Nyambung ga ya?-

Balik kanan mutar haluan ke soal kebiasaan yang ilang.

Tujuan berjemur tiap pagi dan sore itu biar dapat vitamin D. Katanya vitamin ini penting utk pertumbuhan tulang. Karena pengen punya anak bertulang kuat dan berbadan sehat, maka Ayah Bunda dengan senang hati menjemur Bani tiap menjelang mandi. Namanya juga dijemur, jadi ya Bani dibolak-balik. Pertama dia terlentang di paha. Lalu dibalik jadi tengkurap. Anehnya Bani kok ya diem aja. Lebih sering sih dia malah nyengir ketawa. Ngrasa jadi krupuk kali. He.he..

Tapi ya itu tadi, kebiasaan itu mulai berkurang. Gara2nya agak aneh, tapi sepertinya sih logis. -Kalo ga logis ya ironislah-.Ternyata badan Bani makin hari makin memuai. Ayah Bunda jadi curiga. Jangan-jangan Bani memang keturunan Gatot Kaca. Dia punya otot kawat tulang besi. Makanya pas dijemur badannya jadi molor tambah panjang.

But, inilah risiko perbaikan keturunan. Pernikahan Ayah Bunda tuh ibarat perkawinan silang. Teman penganut ideologi tubuh yang rasis malah pernah bilang Ayah Bunda mirip kodok. Lakinya kecil. Perempuannya gede. Actually, tidak terlalu beda. Cuma karena Bunda lebih ndut dan Ayah juga lebih kecil, jadinya ya kayak kodok gitu deh.

By the way, anyway, busway, wayway gombal, dst, meski belum genap tiga bulan, sudah terlihat kalau Bani itu keturunan yang lebih baik dibanding nenek moyangnya. Tubuhnya panjang. Pas imunisasi di Puskesmas Denpasar Timur minggu lalu aja perawatnya bilang gitu.

“Wah, anaknya panjang ya. Nggak kayak bapaknya,” kata perawat itu. Sumpah samber gledek dia bilang gitu pas mau nyuntik Bani. Padahal Ayah juga di situ.

Pas lahir sih panjang Bani 51 cm. Tapi sekarang kayaknya udah hampir 100 cm atau, jangan-jangan malah lebih. Panjang badan ini pun ngaruh ke hidupnya sehari-hari. Misal pas mandi. Dulunya sih asik aja dia mandi di bak mandi. Soalnya semua badannya muat. Tapi sekarang agak susah. Kakinya nendang bagian bawah. Kepalanya kena bagian atas. Mau gak mau ya badannya agak ditekuk. Kaki dan kepala diangkat. Jadinya bentuk badan Bani kayak kurva.

Kalau bobok juga gitu. Di kasur sih no problemo. Masalahnya, dia juga sering bobok di sofa bed kamar dua, kamar yang jadi perpustakaan sekaligus ruang kerja. Biasanya dia bobok di sana kalau Ayah lagi ngetik, atau ngegame.

Kalau bobok di sofa bed kamar dua dia biasa beralas bantal. Dulu sih muat, malah lebih bantalnya. Eh, sekarang badan Bani lebih panjang dibanding bantal. Jadinya kaki Bani selonjor melebihi bantal. Lalu, pelan-pelan Bani melorot badannya. Untungnya sampai sekarang Bani gak sampe jatuh dari sofa bed.

Nah, masalah paling gawat tuh kalo Bani digendong Ayah. Kalau pagi atau sore, Bani dan Ayah suka duduk di kursi depan rumah. Posisinya Bani menghadap Ayah dan duduk di atas perut. Kepal Bani bersandar pada dengkul Ayah yang dirapetin. Ayah bersandar di tembok dengan tumit yang menempel pantat. Dulu sih asik-asik aja.

Eh, sekarang jadi masalah. Ayah ukuran mini, sementara Bani tambah panjang. Kakinya Bani jadi kena ke muka Ayah. Mungkin karena dipikirnya sama kaya bola, Bani kadang-kadang nendang muka Ayah. Mmmm, inilah ciri-ciri kenakalan Bani. Dia tidak mau menghormati ayahnya sendiri.

Perubahan paling terasa justru agak porno. Badan makin panjang sementara baju sama masih yg dibeli pas baru lahri. Jadinya makin hari makin ga muat. Meski pake baju udelnya Bani tetep keliatan. Dia jadi kayak pamer udel gitu. Heran, masa dia mau niru Trio Macan sih? [***]

12/12/2006

Misteri Jeritan Tengah Malam


Subak Dalem, 12/12/06

Heran juga. Padahal Bani tidak pernah nonton film horor, tapi kok dia bisa membuat adegan horor ya. Mungkin sutradara film Kuntilanak, Hantu Jeruk Purut, dan seterusnya itu perlu belajar dari Bani gimana caranya bikin adegan horor. Sebab, cerita tiga atau empat hari lalu ini memang agak horor. Begini ceritanya:

Lampu terang kamar utama sudah dimatikan. Tinggal lampu tidur di dua pojok kamar samar-samar menerangi. Jarum jam bergerak. Tak. Tak. Tak. Suaranya memecah senyap di kamar. Sekitar pukul 11 malam. Di luar rumah gelap. Dan, sepi.

Bani terlelap. Bunda juga. Ayah di kamar dua, asik dengan stick game-nya.

Tiba-tiba, “Oeeek. Oeeek!” Bani menjerit-jerit. Suaranya memecah sunyi. Dia menangis. Bunda segera bangun dan mendekapnya. Ayah bergegas ke kamar utama. Bani masih menjerit dan menangis. Dia sampai sesenggukan.

Tidak jelas apa sebabnya. Dia masih juga menjerit. Gantian Ayah yang mendekapnya. Pelan-pelan tangisan berkurang. Dadanya masih turun naik sesenggukan. Tak jelas kenapa.

“Mungkin mimpi buruk,” kata Bunda.

“Bisa jadi,” jawab Ayah.

Pelan-pelan Bani diam. Lalu terlelap kembali. Jeritan Bani tengah malam itu jadi misteri.

Eh, pagi ini kejadian sama terulang. Biasanya Bani paling suka pas mandi dan setelahnya. Dia ketawa-ketawa saja di bak mandi, diusap-usap pakai minyak telon, hingga dibedakin.

Tapi pagi ini lain. Pas baru ditaruh di perlak, masih berungkus selimut kecil, dan handuk, tiba-tiba dia menarik bibir ke bawah. Matanya merem. Alisnya bertemu. Lalu, tangisan keluar dari mulutnya. Dia menangis. Suaranya keras.

Ayah segera mendekapnya. Tangisan Bani makin melengking. Ayah menepuk-nepuk punggungnya. Pelan-pelan, Bani diam. Tangisan memang selesai. Tapi misteri itu tetap tidak terjawab.


Seperti kejadian tiga atau empat hari sebelumnya, tidak jelas apa sebabnya. Jeritan tengah malam dan tangisan pagi ini meninggalkan misteri besar. Ada apa dengan tangisan Bani? Hiiii.hiii..hiiii..100x. [***]

12/11/2006

Don’t Worry, Bani Bisa Bobo’ Sendiri…


(Subak Dalem, 12 Des 06)

“Bani anak kami, pinter sekali. Kalo mandi seneng sekali...“ Sekadar ngingetin itu mars ayah dan bunda untuk Bani. Kalo disenandungkan, mirip lagu apa ya? (Tau gak, Yah?) Liriknya bisa diubah-ubah sesuai dengan kondisi, jadi silakan kalo ada yang mo pake juga buat gantiin nina bobo yang sering banget dipake itu. Kasian ni pencipta lagu, gak pernah dapet royalti.


Sst... Ada kejutan baru dari Bani. Sejak kemarin, dia punya tabiat baru. Tabiat yang biasanya berkonotasi buruk, kali ini menggembirakan. Habis mimik asi, Bani jarang banget langsung bobo’. Kali dia gak mempan dengan kelonan bundanya. Habis mimik, ya gradak graduk sendiri. Ngangkat kaki tinggi-tinggi, trus dijatuhin ampe kasurnya berdebum. Gitu aja terus sampe 10 menit, cape, minta mimik lagi. Jadi susyah ngapa-ngapain karena harus siaga.

Namun, udah tiga kali ini Bani menunjukkan kedewasaannya. Ceile.. Setelah mimik, guling-guling sebentar, pria dewasa berusia 2,5 bulan ini langsung terlelap. Bunda langsung terkejut dan girang kepalang. Wah, akhirnya, bisa baca Musashi dengan tenang.

Dont worry bunda, Bani bisa bobo’ sendiri... Bani cuman menguji bunda, sabar gak jagain. Bisa gak bani andelin jadi bunda masa depan bani… Now, bunda dah setengah lolos jadi bunda bani. So, bani mulai urus diri bani sendiri. Gitu kali yee, maksudnya si Bani….

12/10/2006

Sekuel: E’ek Lancar Senyum pun Lebar

Subak Dalem, 09/12/06

Sori kalo cerita agak jorok kembali. Tapi ini penting utk pelurusan sejarah Bani. Bahwa, ternyata sejak bayi pun dia selalu bermasalah dengan e'ek. :))

Again! Setelah tiga hari lalu e’ek Bani dipaksa datang dengan undangan sabun masuk ke anusnya, ternyata si e’ek kembali tidak mau dengan suka rela datang keluar. Maka, keluarlah jurus baru yang diajarkan si Bidan dari Subak Dalem tiga hari lalu. Gunakan sabun, maka e’ek akan segera keluar.

Pagi ini hari ketiga Bani tak e’ek lagi. Aduh, padahal Bunda udah sering makan pepaya mateng, makan jeruk, dan tiap kali abis mimik ASI juga Bani udah diberi air putih. Tapi kok e’eknya tetep aja sudah datang. Kali e’eknya males liat muka Bani, Bunda, dan Ayah.

Tapi yowislah. Dari pada cuma mikir e’ek yang tak kunjung berkunjung, akhirnya Ayah dan Bunda pun merayunya lagi.

Bani terlentang di kasur beralas perlak. Dua kakinya dipegang Ayah dengan tangan kiri. Bunda ngambil sisa sabun mandi. Kecil banget ukurannya. Lebih kecil dibanding yang dipake bidan waktu itu. Ayah menerima dengan tangan kanan. Tapi kok kecil banget ya sabunnya. Udah gitu gak licin lagi. Akhirnya sabun itu dikasi air. Tetep aja gak licin.

But, the e’ek must come!

Sabun kecil itu dimasukkan ke anus Bani. Bukannya nangis, dia malah ketawa-ketawa. Geli-geli enak kali. He.he. Srut. Srut. Sabun itu dimasukkan. Tapi kok gak masuk-masuk. Malah ukurannya jadi lebih pendek. Eh, ternyata salah naruh. Sabun itu tidak pas di lubang anus. Tapi di atasnya.

Ayah pun kembali sibuk mencari lubang itu. Sabunnya dimasukkan lagi. Kok susah lagi. Eh, ternyata sabun itu sudah tak licin lagi. Ayah cuek saja. Sabun itu dimasukkan lagi. Tapi cuma separuh yang masuk.

“Pake cutton bud aja,” kata Bunda. –bener gak ya nulis cutton bud. Itu tuh yang biasa dipake bersihin kuping. Sabun itu didorong pake cutton bud. Tuk. Wak. Gak. Masuklah si sabun ke anus Bani. Crit. Keluarlah e’ek Bani. Tapi cuma dikit.

“Sabunnya kurang kali. Masukin lagi aja yg lebih gede,” kata Bunda.

“Gak usah. Tunggu saja,” kata Ayah yang memang bijaksana.

Eh, benar saja. Sekitar semenit dua menit nunggu, bala tentara si e’ek pun datang. Banyak. Banyak sekali. Mereka langsung memenuhi popok serap -biasa disebut pampers meski itu nama merk, bukan jenis produk. Tanpa basa-basi e’ek pun menyapa kami dengan baunya.

Senyum Bani yang sudah lebar, kini makin mengembang. Dia keliatan begitu senang.. [***]

12/09/2006

Ku Mau Tak Seorang pun (Memaksaku) Menyusu!

Subak Dalem, 08/12/06

Setelah tiga bulan cuti hamil dan melahirkan, hari ini Bunda mulai masuk kerja. Tentu saja itu ngaruh ke Bani. Kalau Ayah yang pergi, tidak ada yang perlu dicemaskan. Susu buat Bani tersedia langsung dari sumbernya. Asli. Bukan buatan pabrik..

Lalu karena hari ini Bunda masuk kerja, Ayah yang harus jaga rumah dan momong Bani. Masalah pun datang.

Kalo tak salah, persis seminggu lalu Bani muntah-muntah karena terlalu banyak minum susu. Waktu itu karena Ayah Bunda keluar bareng jadi Bani harus dititipin di rumah Pekak, sebutan kakek dalam basa Bali. Karena Pekak tidak mungkin mengeluarkan air susu pekak (APEK) jadi ya Bani ditinggali susu formula di botol saja.

Setelah Ayah Bunda datang, Bani pun pulang. Eh, tak lama setelah itu Bani muntah luar biasa. Banyak banget. Cairan susu itu sampai keluar dari hidung. Bani menangis dan menjerit. Ekspresinya seperti kesakitan. Mungkin itu tangisan terkeras Bani hingga saat ini. Sebabnya mungkin karena terlalu banyak minum susu dan terguncan-guncang pas di jalan.

Setelah itu Bani gak minum susu formula lagi.

Hingga, hari Bunda mulai bekerja pun tiba. Sama saja. Karena Bani tidak mungkin minum air susu oayah (ASOY), jadi ya Bani ditinggalin susu formula lagi.

Ayah dan Bunda sudah punya feeling kalau Bani bakal menolak susu formula. Dan, benar saja.

Sehari sebelumnya ada semacam percobaan. Kebetulan Bunda ada perlu keluar sore itu. Bani pun dibuatkan susu 120 ml. Eh, Bani sama sekali gak mau minum. 120 ml susu formula terbuang sia-sia. Rupanya Bani tidak mau jadi kelinci, eh, Bani percobaan.

Dan, benar saja, pembaca blog sekalian.. Sejam kemudian dia haus. Ketika disodori botol berisi susu formula lagi hari ini, Bani tidak mau. Dia menangis keras. Melolong. –he.he. anjing kali melolong- Pokoknya nangis sekeras-kerasnya. Ayah panik. Bani ditimang-timang. Tetap saja Bani menangis.

Bani dibawa jalan-jalan di dalam rumah. Dari perpustakaan ke ruang tamu ke dapur ke kamar utama ke halaman. Tangisnya berkurang. Pelan. Lalu hilang sama sekali. Puting dot di sudut bibirnya mulai dikunyah-kunyah. Pelan-pelan. Dia berhenti. Mau nangis lagi. Diam lagi. Mengunyah lagi. Ayah dag dig dug. Tokek. Mau. Tokek. Nggak. Tokek. Mau. Tokek. Nggak. Tokek. Mau. Eh, tokeknya langsung kabur.

Alhsil, Bani pun mulai menyedot, bukan mengunyah lagi dot itu pelan-pelan. Crup. Crup. Crup. Mmuah. –gimana ya nulis eksrepsi Bani minum susu dengan semangat?- Pokoknya dia pun mulai menyedot susu formula itu dengan garang. Mungkin dia mau ngasi tahu, “Jangan paksa Bani nyusu. Kalau pengen pasti aku sedot sendiri. Kalau tetap mau nyusu, ayah aja yang sedot sendiri..” [***]

12/07/2006

E’ek Lancar Senyum pun Lebar

Subak Dalem, 06/12/06

Gara-gara empat hari Bani gak bisa e’ek –itu bahasa halus dari buang air besar, boker, be’ol, berak, dst- Bunda kembali cemas. Maka, hari ini pun keputusan diambil. Bani harus dibawa ke bidan lagi. Ini cerita kedua kali e’ek tak lancar. Ternyata e’ek itu perkara penting juga.

Sekitar dua minggu lalu, Bani juga ga e’ek-e’ek berhari-hari. Waktu itu dibawa ke bidan juga. Setelah tanya Bunda makan apa saja, Bidan itu bilang, “Oh, berarti karena makan pepaya belum matang.” Waktu itu Bunda memang lagi makan pepaya yang belum mateng-mateng banget. Masih agak katos. Eh, ternyata ngaruh.

Bidan itu cuma ngambil obat kayak kapsul tapi agak gede. Mungkin seukuran kelingking orang gede. Kalo ga salah sih itu namanya Dulcolax. Tanpa ba bi bu, slup!, kapsul itu dimasukin anus Bani.

“Oeeek.. Oeek..,” teriak Bani. Dia menangis dan menjerti. Tapi seperti kebiasaannya, cuma bentar. Abis itu dia ketawa-ketawa lagi sambil terlentang di kasur bidan. Sampai rumah, prot! prot! proooooot! Keluarlah semua isi perut Bani. Hah, ayah bunda pun lega.

Pelajaran hari itu: jangan makan pepaya belum matang kalau gak mau Bani gak lancar e’eknya.

Jadi setelah itu ya gak makan pepaya agak matang. Carinya pepaya yang udah agak lembek. Oya, banyak makan jeruk juga. Kata bidan bisa memperlancar e’ek Bani.

Tapi, susah e’ek ternyata datang lagi minggu ini. Satu. Dua. Tiga. Hingga empat hari. Ayah dan bunda menunggu e’eknya Bani. Dag.. Dig.. dug.. kaya nunggu bedug. Eh, si e’ek gak datang2 juga. Setelah melalui rapat umum keluarga, akhirnya disepakati: Bani harus dibawa ke bidan lagi.

Sore kemarin, Bani pun dibawa ke bidan. Tapi kali ini yang deket rumah aja. Semula bunda gak terlalu suka. Pikirnya karena bidan itu lebih di pinggiran kota, dia takut mutu bidannya juga ga sebagus sebelumnya. -Ah, inilah ciri-ciri diskriminator sodara-sodara!

Tapi ga ada salahnya dicoba. Kalau bagus syukur, kalau ga bagus ya ga usah ke sana lagi.

Bidan kali ini lebih tua. Umur sih biasanya berpengaruh pada pengalaman. Setidaknya pengalaman hidup lebih lama. :))

Dan, benar ternyata. Bidan itu lebih berpengalaman. “Sebaiknya habis mimik ASI dikasi air putih. Biar lancar e’eknya..”

Setelah liat perut Bani bentar, dia meninggalkan ruangan. Balik-balik dia bawa sesuatu mirip kapsul bidan pertama. Tapi ini bukan kapsul. Ternyata sabun mandi. Setelah liat anus Bani, sabun kecil itu dimasukin. “Coba dulu. Kalau bisa keluar ya gak usah pakai pencahar..”

Manjur benar! Dalam itungan detik –bener2 detik- langsung saja crot! crot! crooooot! E’ek Bani keluar. Banyak sekali. Ah, leganya Bani. Setelah e’ek lancar, senyumnya lebaaaaaaar sekali.

12/04/2006

Imunisasi Hepatitis, Polio, dan BPT

setelah tertunda gara2 bulan lalu mau Galungan, hari ini Bani akhirnya imunisasi! pas baru lahir 23 september lalu Bani udah imunisasi polio. hari ini polio, hepatitis, dan BPT -apa ya singkatan yg terakhir itu.

dokter -apa bidan ya?- di puskesmasnya baik sekali. :))

12/03/2006

habis popok, terbitlah blog!

Dari pagi mendung melulu. Ayah baru aja nyuci popok, baju, dan kaos tangan + kaos kaki. Kemarin sore ayah lupa. Jadi ya mau gak mau pagi ini harus nyuci. Padahal dia barusan aja bangun.

Di lemari tinggal sekirar lima popok lagi. Masih pagi. Hari masih panjang. Jadi ya popoknya pasti kurang. Sehari kan Bani bisa habis sampae 15 popok.

Dan, eng ing eng!, bener aja. Jam 11an popok terakhir pun dipakai Bani. Yg di jemuran masih basah. Yg kering udah ga ada. Ayah Bunda berpandang. Ya udah bikin blog aja: thelastpopok.blogspot.com. Buat nyimpen ceritanya Bani sehari-hari.

Jadi habis popok, terbitlah blog!

9/24/2006

Maka Lahirlah Bani ke Dunia Fana Ini

-cerita kelahiran. nyolong dari blog ayah-

Sabtu [23/09] pukul 08 pagi. Puasa Ramadhan 1427 H tinggal sehari lagi. Kami sedang baca koran dan minum kopi.

Istriku masuk kamar mandi. Aku masih duduk di ruang tamu sambil baca koran. Istriku berseru, “Yah, kok vaginaku keluar darah ya?”.

“Bani mau lahir kali,” jawabku. Hanya bercanda.

Aku masuk kamar mandi juga. Ada darah mengental di dudukan toilet. Dari vagina istri keluar air. Kami hanya menduga itu air ketuban. Tapi tidak terlalu yakin. Kami kembali ke kamar tamu. Duduk. Lalu telepon salah satu teman yang sudah dua kali melahirkan. Dia menyarankan kami periksa ke dokter. “Jangan-jangan itu benar air ketuban,” katanya.

Air itu, yang istriku dan aku juga belum yakin air ketuban, terus keluar. Kami sepakat segera ke rumah sakit Puri Bunda, yang tak jauh dari rumah dan sudah dirujuk dokter. Tanpa mandi, kami berangkat

Kami masuk ruang unit gawat darurat (UGD). Istriku berbaring setelah bajunya diganti perawat. Tak lama kemudian dokter, tempat kami biasa memeriksa kandungan, datang. Dia memeriksa air itu. “Benar. Ini air ketuban. Sekarang ibu harus menunggu sampai jam dua. Kalau air ketubannya masih keluar terus, berarti ibu harus melahirkan hari ini. Tapi kalau berhenti ya belum tentu,” katanya.

Kami menunggu. Istri berbaring, aku duduk di sebelahnya. Aku sempat pulang ke rumah sekitar 30 menit untuk bersih-bersih rumah. Ketika balik ke rumah sakit, ternyata istri sudah pindah ke ruang bersalin. Di kanan kiri kami terdengar ibu-ibu mengerang kesakitan karena melahirkan. Ada yang udah dua hari berusaha tapi anaknya tak keluar juga. Ada yang baru 30 menit bayinya sudah lahir.

Kami menunggu. Waktu berjalan sangat lambat. Kami masih dalam pertanyaan besar apa memang bayi kami akan lahir Sabtu siang itu.

Sekitar pukul 12, seorang perawat ngasi tahu kalau bayi harus dilahirkan hari itu lewat operasi. Kami tidak punya pilihan. Makin cepat melahirkan makin baik. Namun kami masih harus menunggu. Sebab, operasi baru akan dilakukan pukul 2 siang.

Kami menunggu. Waktu berjalan sangat lambat.

Pukul 13.30 perawat datang mengajak istri ke ruang operasi. Aku ga boleh ikut. Aku nunggu di ruang lobi. Bagiku waktu berjalan sangat lambat. Dunia seperti berjalan pelan. Aku deg-degan. Antara cemas, senang. Tidak jelas. Aku bolak-balik antara ruang operasi dan tempat nunggu.

Setengah jam menunggu, aku mendekati ruang operasi lagi. Tak lama keluar perawat mendorong tempat tidur bayi. Perasaanku mengatakan, “Itu bayiku!”

“Bapak suaminya Bu Suriyani?”

“Ya, Bu.”

“Selamat ya. Anaknya sudah lahir. Cowok. Sehat.”

Aku mendekati bayi itu. Menyentuh pipinya. Menyentuh kulitnya. Anak kami telah lahir. Aku ga bisa menuliskan perasaanku. Dalam hati aku menyambutnya. Selamat datang di belantara dunia, Bani Nawalapatra..